Dindik Surabaya sudah mengerahkan seluruh unit pelaksana teknis daerah (UPTD) di kecamatan. Namun, hasilnya belum maksimal karena keberadaan anak usia SMA sulit terdeteksi. Data Dindik menyebutkan, ada sekira enam ribu anak usia SMA tidak melanjutkan sekolah. Fakta ini terlihat dari lulusan SMP se-Surabaya sebanyak 38 ribu, tetapi yang melanjutkan hanya 32 ribu.
”Kita sudah melacak keberadaan anak usia SMA. Tapi ternyata tak mudah. Kami akan terus cari lulusan SMP yang tidak mau melanjutkan ke SMA,” kata Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur), Ruddy Winarko.
Ruddy menuturkan, saat ini masih banyak lulusan SMP yang enggan melanjutkan ke SMA. Mengajak mereka kembali masuk SMA juga tidak mudah. Apalagi mereka sudah keenakan mencari uang, meski hanya buruh angkut atau penjaga toko. Menurut mereka, lebih baik mendapatkan uang daripada sekolah lagi. ”Kita akan ubah pemikiran ini. Pendidikan akan lebih mampu mengubah kehidupan anak lebih baik,” ujar Ruddy.
Plt Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya, M Taswin menegaskan, upaya untuk mencari siswa lulusan SMP sudah dilakukan. Bahkan seluruh perangkat desa mulai RT dan RW dilibatkan untuk mencari anak usia SMA. Tidak hanya itu, pemilik sekolah juga dilibatkan untuk mendeteksi keberadaan lulusan SMP. ”Semua elemen sudah kita kerahkan mencari keberadaan siswa usia SMA,” katanya.
Taswin menerangkan, sampai saat ini belum ada angka pasti jumlah siswa yang gagal mengikuti wajar 12 tahun. Namun diperkirakan, ada enam ribu siswa yang harus terjaring wajar 12 tahun ini. ”Kita upayakan dapat menyukseskan wajar 12 tahun,” terang dia.
Sementara itu, rencana Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyelenggarakan program wajar 12 tahun hingga SMA dianggap masih belum tepat. Pasalnya, alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah pada 2012 masih cukup terbatas bila dibanding jumlah siswa yang berhak menerima bantuan tersebut.
”Kalau memang program ini serius, kenapa anggaran yang disediakan sedikit?” kata Mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Daniel M Rosyid. Dari data yang diperoleh, alokasi anggaran pendidikan 2012 sebesar Rp286,6 triliun atau 20,2 persen dari APBN. Namun, jumlah tersebut masih terbatas bila dibandingkan dengan jumlah siswa yang harus mendapat alokasi anggaran. Karena itu, anggaran yang terbatas itu lebih baik dimanfaatkan untuk membantu memperkuat pelaksanaan PAUD.
Pasalnya, jika layanan PAUD, Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah meningkat, maka proses belajar mengajar dapat difokuskan pada pembentukan karakter siswa. Dengan begitu, anak-anak memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi masa depannya. ”Kualitas pendidikan dasar sembilan tahun masih belum terlihat. Sekarang malah meluncurkan wajar 12 tahun, ini belum saatnya,” ujar guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini.
Daniel mengharapkan, Kemendiknas mau mengubah kebijakannya. Sebab, lanjutnya, lebih baik fokus pada penguatan PAUD dan pendidikan dasar yang bermutu serta fokus pada pembentukan karakter siswa. Hal itu dilakukan untuk menghindari para siswa yang bingung soal akses mendapatkan pendidikan. Sebab tidak semua daerah memiliki SMA dan tidak sedikit siswa setelah lulus SMP lebih memilih bekerja membantu orangtuanya daripada melanjutkan sekolah.
”Jika PAUD dikuatkan, masalah akses bisa disiasati dengan layanan pendidikan nonformal yang lebih luwes,” jelasnya. (arief ardliyanto)(Koran SI/Koran SI/rhs)
sumber: okezone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar